Filosofi Kopi by Dee Lestari
4:14:00 PM
Bagaimana mungkin kamu jadikan tubuhmu sangkar
bagi perasaan? Bukankah perasaanlah kandang dari jasad ini? Dalam diammu, aku
mendengar banyak suara. Diammu berkata-kata.
Diam, 2000 – Filosofi Kopi
******
Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan
cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang
gentar diutarakan.
“ Bagaimana cuacamu?”
“ Akubiru.”
“ Aku kelabu. “
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca
menalikannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran
tebak-tebakan, agar yang tersirat tetap tak tersurat.
“Bagaimana cuacamu?”
“Aku cerah, sama sekali tidak berawan. Kamu?”
“Bersih dan terang. Tak ada awan.”
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya
tergugu karena telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan
demikian : menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas
jadi pajangan.
Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran
akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan
kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.
Cuaca, 1998 – Filosofi Kopi
******
Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang
tahun terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam,
menembus rahasia terciptanya waktu.
Keheningan menghapuskan kenangan, mengembalian
cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah
kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca – suka atau tidak
pada hasilnya.
Lilin merah berdiri megah di atas glaur, kilau
apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun seusai disembur napas, lilin
tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan
udailah sudah.
Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di
setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa
sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam
gelap.
Berbahagialah, sesungguhnya engkau mempu
berulangtahun setiap hari.
Lilin Merah, 1998 – Filofosi Kopi
******
Di dalam raga ada hati, di dalam hati ada satu
ruang tak bernama. Di tanganmu tergenggam kuncinya.
Ruang itu mungil, isinya lebih halus dari serat
sutra. Berkata-kata dengan bahasa yang hanya dipahami oleh nurani.
Begitu lemahnya ia berbisik, sampai
kadang-kadang engkau tak terusik. Hanya kehadirannya yang terus terasa, dan
bila ada apa-apa dengannya, duniamu runtuh bagai pelangi meluruh usai gerimis.
---
Satu garis jangan sampai kau tepis : membuka
diri tidak sama dengan menyerahkannya.
Di ruang kecil itu, ada teras untuk tamu.
Hanya engkau yang berhak berada di dalam inti hatimu sendiri.
Kunci Hati, 1998 – Filosofi Kopi
Beberapa kata-kata puitis yang tak sanggup kurangkai sendiri, dan tak ingin ku lupakan.
dari buku Filosofi Kopi by Dee Lestari
Aku mengaguminya
karena kelihaiannya merangkai kata dan perbendaharaan katanya yang luar biasa.
0 comments